RSS

Arsip Tag: murtad

Ibrahim Murtad jadi Kristen

Sabtu, 4 Apr 04, 2009, jam 19:21

Namaku adalah Ibrahim dan aku berasal dari keluarga Muslim dari Kosovo. Sejak masa kecil aku sangat tertarik mendalami agama. Aku kagum dengan keterangan bahwa Tuhan menciptakan segalanya di surga dan bumi dan aku sangat ingin tahu lebih jauh siapakah Tuhan ini. Aku ingat sewaktu kecil nenekku mengajarku untuk selalu mengatakan Bismillah arahmani arahami sebelum dan setelah tidur, dan juga sebelum makan dan berterima kasih pada Tuhan setelah makan dengan mengucapkan alhamdulillah. Nenek sering mengajakku masuk kamarnya untuk sholat bersamanya. Dia mengajarku untuk mengucapkan bismilah tiga kali untuk mengusir rasa takut. Dan aku pun melakukannya.

Keluargaku terdiri dari kedua orangtuaku, abangku yang berusia 8 tahun lebih tua dariku dan aku sendiri. Saat aku duduk di bangku SD, abangku telah mulai kuliah di perguruan tinggi. Dia sangat rajin belajar, sampai suatu hari dia keracunan gas air mata di asrama perguruan tinggi. Pasukan penjajah yang saat itu berada di Kosovo ingin mengusir semua mahasiswa keluar gedung asrama dan mereka lalu melemparkan gas air mata ke dalam gedung. Sejak saat itu, kesehatan abangku jadi menurun. Setahun kemudian dia menderita sakit parah dan para doktor tidak bisa banyak membantunya selain mengatakan sistem syarafnya rusak akibat kelemahan otot. Tidak sampai setahun kemudian, abang meninggal di usia 22 tahun. Tragedi ini merubah kehidupan keluarga kami. Saat itu aku berusia 14 tahun. Ibuku lalu menderita depresi berat, sedangkan ayahku berusaha mencari ketenangan dari Islam dan mulai beribadah serius. Aku sendiri jadi semakin giat mencari tahu tentang Tuhan dengan cara memperdalam pengetahuan dan kesetiaanku pada Islam. Kupikir hanya Tuhan yang tahu alasan sebenarnya kematian abangku dan kami harus bersabar menerima keputusan apapun, karena kejadian baik dan buruk semuanya berasal dari Dia.

Tragedi kematian abangku membuatku semakin ingin tahu tentang Islam. Aku seringkali pergi ke mesjid, sholat, baca Qur’an dan berbagai literatur Islam lainnya, dan aku merasa puas dengan apa yang kulakukan. Setiap kali aku pergi ke mesjid, aku berterima kasih bahwa aku terlahir sebagai Muslim, karena Islam adalah satu²nya agama yang diterima Allâh sebagai jalan keselamatan. Tak lama kemudian, aku jadi yakin bahwa Qur’an adalah wahyu terakhir dari Allâh; Tuhan itu esa, Dia tidak dilahirkan atau melahirkan siapapun; tiada yang serupa denganNya. Keputusannya mutlak dan aku harus pasrah saja menerima takdir. Tuhan berhubungan dengan orang² secara langsung tanpa perantara. Tuhan tidak butuh punya anak segala untuk jadi perantaraNya, sehingga pandangan orang² Kristen tentang Tuhan jelas salah sekali. Mereka harus dihukum karena melakukan “syrik,” yang merupakan dosa terbesar manusia. Karenanya, aku harus berhati-hati agar tidak berhubungan dengan berhala apapun, tidak menduakan Allâh karena Allâh bisa ngamuk dan aku bakal dihukum berat. Karena alasan² ini, dan juga karena yakin para kafir telah mengubah firman Allâh, maka aku sangat benci dengan orang² Kristen dan Yahudi. Apalagi, imam² di berbagai mesjid yang kujumpai juga berkhotbah penuh kebencian terhadap masyarakat Kristen dan Yahudi. Aku ingat suatu waktu tatkala pamanku membawa anaknya ke mesjid untuk disunat, sang imam mengajarkan bahwa kaum Yahudi adalah masyarakat terkutuk dan tiada hal yang baik yang dihasilkan mereka. Mereka hanya melakukan hal yang jahat saja, dan tentunya Allâh di Hari Kiamat akan menghukum mereka paling berat. Aku tidak sepenuhnya setuju dengan perkataannya, karena kuanggap orang² Kristenlah yang layak dihukum lebih berat daripada orang² Yahudi karena mengubah orang jadi Tuhan, dan menyembah tiga tuhan pula. Aku sungguh tidak mengerti dan menerima bagaimana mereka sanggup melakukan hal itu. Hal itu sungguh memuakkan bagiku.

Dengan pandangan tentang Islam dan Kristen seperti ini, aku lalu pindah hidup di ibukota, yakni Prishtina, dengan tujuan mulai belajar di perguruan tinggi. Di tahun kedua aku mengambil keputusan untuk menyewa kamar bersama saudara sepupuku sambil kuliah di Prishtina. Ini mungkin masa² yang paling menyenangkan dalam kehidupan mahasiswa kami karena kami sering bercakap-cakap tentang berbagai hal. Saudara sepupuku (kawan berbagi kamar) juga berasal dari keluarga Muslim, tapi dia lebih sekuler daripada aku. Meskipun demikian, dia sering baca² buku agama, dan percaya bahwa Tuhan itu ada. Menurutnya, sebagai kaum intelek kami harus menunjukkan kehidupan kami tidak hanya melalui agama, tapi juga melalui prestasi karir dan ambisi hidup.

Saudara sepupuku ini punya pama di Finlandia yang murtad dan lalu memeluk Kristen. Sebenarnya dia adalah sepupuku juga, tapi karena usianya jauh lebih tua, aku memanggilnya dengan julukan paman. Dia jadi Kristen beberapa tahun yang lalu, dan berusaha melakukan kristenisasi terhadap sepupuku yang akhirnya enggan berbicara dengan paman. Kukatakan padanya bahwa aku tertarik bicara dengan paman ini karena aku banyak mendengar berita jelek tentang kemurtadannya dan bahkan kabar bahwa dia murtad agar dapet duit dari pihak orang² Kristen saja. Hal ini membuatku tanpa ragu melakukan diskusi agama saat pertama aku bercakap dengan pamanku melalui telfon.

Bagi pamanku di Finlandia, hal ini tentunya adalah lampu hijau untuk mulai diskusi agama. Aku bertanya padanya,”Mengapa kau berganti agama, paman?” Untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan waktu diskusi lebih dari sejam saja. Dia terus melakukan pembicaraan per telfon, bahkan kadangkala setiap hari, selama berjam-jam. Aku menerima Alkitab pertama dalam bahasa Albania yang dikirim paman dari Finlandia, dan juga beberapa buklet lain dalam bahasa Albania. Selain itu, dia mengirim kaset² yang merekam perkataannya menjelaskan lebih intensif berbagai hal yang kami bicarakan dalam telfon. Aku dan saudara sepupuku mendengarkan kaset² ini tiap malam. Ada dua hal yang sangat sukar kuterima dari kaset² ini. Pertama, selain menjelaskan iman Kristen, paman juga mengritik Islam, dan terutama Muhammad. Hal ini membuatku sangat marah. Kedua, dia berdoa bagi kami dalam nama Yesus, dan terlebih lagi, dia menyatakan Tuhan sebagai babehnya. Aku tidak tahan mendengar doa² seperti itu dan biasanya aku mempercepat laju kaset untuk melewati bagian ini.

Setelah mendengar satu dari beberapa kaset itu, aku mulai membaca Alkitab untuk pertama kalinya, tapi lalu berhenti beberapa hari kemudian. Aku tidak tahan baca buku itu. Setiap kalimat yang kubaca terasa sebagai manipulasi atau editan tangan manusia. Terlebih lagi, rasa benciku akan agama Kristen dan orang² Kristen membuatku muak baca Alkitab. Meskipun begitu, aku tetap melanjutkan diskusi via telfon secara intensif dengan pamanku di Finlandia. Pada saat itu, saudara sepupuku juga mulai bergabung dalam diskusi meskipun akhirnya dia berhenti dan lebih memilih mendengarkan kaset² paman bersamaku.

Pamanku dari Finlandia ini sangat bersemangat dan bahkan berkobar-kobar akan agama barunya. Setelah itu aku melihat bahwa semua tuduhan jelek dari pihak keluargaku yang Muslim terhadapnya ternyata tidak benar. Pamanku jelas sangat yakin bahwa Yesus Kristus itu adalah satu²nya jalan ke surga. Pada saat yang sama dia promosi Kristen, aku pun menyerangnya dengan menyatakan Qur’an adalah wahyu terakhir dari Allâh, dijaga keasliannya oleh Allâh, Qur’an mengandung banyak penemuan sains dan jauh berkualitas dibandingkan Alkitab. Kami bahkan berdebat dengan panas. Sekarang saudara sepupuku juga membantuku dan kami berdua bekerja sama sebagai tim yang berusaha menghancurkan pendapat pamanku melalui fakta² yang kami miliki. Aku menemukan beberapa buku di perpustakaan mesjid saat sedang sholat Jum’at. Kebanyakan dari buku² itu ditulis oleh Ahmed Deedat yang membahas kontradiksi Alkitab, perbedaan alkitab² Kristen, penyaliban hanya dongeng saja, dan berbagai kesalahan Alkitab (satu buku judulnya hebat banget: 50.000 kesalahan Alkitab). Aku pun mendapatkan buku² lain dari teman²ku dan kupikir aku punya banyak senjata nih sekarang untuk melawan pamanku. Aku baca semua buku² itu, tapi meskipun semua tuduhan atas Alkitab tampaknya masuk akalku, aku tetap saja sukar percaya akan tuduhan² itu. Aku pelajari buku “Muhammad dalam Alkitab” oleh Abdul Ahad Daud yang dulu adalah pastor Katolik yang lalu jadi mualaf. Meskipun aku percaya bahwa Muhammad disebut dalam Alkitab, aku tetap tidak bisa yakin akan penjelasan Abdul Ahad Daud. Menurut dia, bahkan Yohanes Pembaptis juga meramalkan Muhammad dan bahkan semua ramalan yang sudah jelas mengarah pada Yesus, disebutnya sebagai ramalan tentang Muhammad. Buku² ini bukannya memperkuat imanku akan Islam, tapi malah mengakibatkan hal yang sebaliknya. Meskipun begitu, aku tetap menggunakan buku² ini untuk melawan pamanku, tapi sudah tampak jelas sekali bahwa membuktikan Alkitab itu penuh salah bukan merupakan hal yang mudah. Hal ini bukan hanya karena pamanku punya jawaban² tepat untuk menyangkal tuduhanku, tapi juga karena buku² kritik Alkitab itu justru mengecewakanku karena jelas² mengganti segala ramalan dan pernyataan bagi Yesus menjadi bagi Muhammad. Logikaku tidak bisa menerima keterangan seperti itu. Bisa kurasakan bahwa para penulis itu tidak jujur terhadap Yesus dan Kristen, meskipun aku adalah Muslim dan sama sekali tidak suka akan Kristen.

Selama aku berdebat dengan pamanku, saudara sepupuku mulai membaca Alkitab. Dia sering melakukan hal ini dan rasa tertariknya akan agama bertambah besar. Kubu kami di bagian Eropa selatan dan pamanku di bagian Eropa utara, dan kami membicarakan agama secara serius. Aku bahkan bolos kuliah untuk bisa berdebat per telfon. Pamanku sangat siap menghadapi semua tuduhan² kami dan aku tidak bisa melihat banyak faedah dari perdebatan ini.

Hal ini terus berlangsung sampai hampir 6 bulan dan tidak mudah untuk melindungi iman Islamku di saat yang sama terus-menerus menghadapi ajaran Kristen secara mendalam yang semakin lama malah semakin tampak masuk akal. Aku bahkan mulai mimpi² segala. Di saat lain, aku tidak bisa tidur memikirkan perdebatan kami. Dalam beberapa mimpiku, aku malah jadi Kristen segala dan aku bangun ketakutan. Aku bayangkan jika ini terjadi bagaimana reaksi keluargaku, terlebih lagi aku bakal masuk neraka karena telah melakukan syrik. Meskipun aku tidak mau lagi baca Alkitab, dari sedikit yang kubaca dan dari percakapanku dengan paman, beberapa ayat² Alkitab terus tercantum dalam benakku: “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup. Tiada seorangpun yang bisa datang ke Bapa tanpa melaluiku.” (Yohanes 14:6); “Aku dan Bapa adalah satu.” (Yohanes 10:30); “Dia yang mendengar perkataanku dan percaya … akan memiliki hidup yang kekal dan tidak akan mati; dia telah menyebrang dari kematian ke kehidupan.” (Yohanes 5:24); “Dia yang mengenalku, mengenal pula yang mengirimku.” (Yohanes 12:45). Semua ayat² ini berhubungan dengan Yesus, pada saat yang sama membahas keilahian Yesus pula dan hal ini sangat terasa “berat” bagiku. Benakku berkecamuk. Aku jadi tidak tenang. Di manakah kebenaran? Di Alkitab atau di Al-Qur’an? Apakah Muhammad itu Nabi terakhir ataukah Yesus yang mengaku sebagai Juru Selamat dunia? Apakah mungkin semua ini hanyalah godaan iblis agar aku memeluk Kristen? Bagaimana jika ternyata Yesus datang beneran untuk mengampuni dosa² kita? Dari semua itu, satu hal yang jelas bagiku: tidak mungkin baik Qur’an dan Alkitab sama² benar; kebenaran ada di salah satu buku² itu. Tuhan tidak mungkin mewahyukan dua keterangan yang saling bertentangan. Hanya ada satu kemungkinan: Alkitab atau Qur’an yang benar, demikian pula Kristen atau Islam yang benar. Dan peperangan bathin ini terus berlangsung. Tapi bagaimana ya jika Yesus benar² muncul di hadapanku seperti yang kudengar dari pamanku bahwa Dia memang sering melakukan hal ini berkali-kali? Aku mendengar kesaksian Gulshan Ester di mana dulu dia lumpuh dan dia berdoa selama tiga tahun terus-menerus. Akhirnya Yesus muncul di kamarnya dan dia lalu sembuh dan bisa berjalan. Dulu dia berdoa minta kesembuhan dalam nama Allâh, dan bahkan mengunjungi Mekah beberapa kali. Tapi yang menjawab doanya ternyata Yesus dan ini mengubah hidupnya secara keseluruhan. Tapi tidak, tidak, aku tidak akan terjebak dalam hal itu; aku tetap beriman pada Islam dan bahagia dengan pilihanku. Bahkan jikalau pun Yesus muncul di hadapanku, aku tetap akan menolak dia. Tapi bisa gak ya menuduhnya sebagai jelmaan setan? Aku sungguh tidak tahu.

Aku berhenti diskusi via telfon dengan pamanku. Kukatakan padanya kita sudah banyak diskusi tentang Islam dan Kristen, aku mengerti pandanganmu tapi maaf, aku tetap beriman Islam. Aku tidak mau lagi berbicara dengannya saat dia menelfonku. Sekarang malahan sepupuku yang melanjutkan percakapan dengannya. Ternyata dia sangat kagum dengan Alkitab yang dibacanya. Suatu hari dia datang padaku dan berkata,”Ibrahim, kupikir setiap orang intelek perlu baca Alkitab setidaknya sekali dalam hidupnya. Buku ini layak dibaca.” Aku heran apa sih yang terjadi pada dirinya? Dulu dia enggan bicara tentang masalah agama dan tidak memperbolehkan pamannya promosi Kristen terhadapnya. Tapi sekarang, dia malah baca Alkitab, dan malah mulai bicara dengan pamanku dan mulai memintaku baca Alkitab segala. Kukatakan padanya ya, meskipun dalam hati aku enggan karena tahu iman Islamku mulai goyah. Terlebih lagi, Qur’an merupakan buku yang sangat sulit dimengerti dan untuk memahami satu ayat saja kau perlu baca tafsirnya. Aku belum sempat baca tafsir meskipun telah baca banyak buku tentang Qur’an.

Aku mengambil keputusan untuk berdoa pada Tuhan secara langsung karena Dia tentunya mampu menunjukkan kebenaran bagiku. “Wahai Tuhan, aku tahu Islam adalah agama yang benar, tapi jika ternyata bukan, maka tolong beritahu saja.” Aku mengatakan kalimat ini setiap malam untuk mencari kebenaran illahi. Aku tidak membicarakan doaku ini pada siapapun, baik dengan pamanku atau saudara sepupuku. Aku ingin hal ini hanya diantara aku dan Tuhan saja, karena aku sangat bingung.

Saudara sepupuku terus membaca Alkitab dan dia mempelajari dengan seksama secara dalam setiap hari segala pengetahuan dan ajaran yang dia temukan di dalamnya. Tak lama kemudian, dia mengatakan padaku akan keputusan terpenting dalam hidupnya: dia ingin ikut Yesus dan percaya bahwa Alkitab adalah firman Tuhan. Alkitab sangat berarti baginya dan aku merasa kehilangan teman kamarku, saudara sepupuku, teman baikku. Aku jadi sangat marah. Kupikir mulai sekarang, kami tidak bisa lagi jadi teman kamar. Aku harus pergi dari tempat ini. Aku melihat baris pembatas karena dia sekarang jadi Kristen. Aku marah padanya, tapi apa yang bisa kuperbuat? Itu memang keputusannya.

Secara umum, semuanya ini merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan. Semua peperangan dalam benakku mengakibatkan aku berpikir yang tidak². Sebuah suara kasar terdengar dalam benakku di suatu malam, menyuruhku melompat dari lantai sembilan gedung kami. Aku sadar ada yang tidak benar yang terjadi dengan diriku. Tapi mengapa kok Tuhan membiarkan semua ini kualami? Aku berdoa padanya untuk meinta tolong lagi. Aku berusia 19 tahun dan aku merasa bagaikan menanggung segala beban dunia di punggungku.

Beberapa hari kemudian, saudara sepupuku memberiku buku yang berjudul “The Place I Desire Most” (Tempat yang Paling Kudambakan). Dia sudah membaca buku ini sampai habis dan melihatnya sebagai kesempatan baik untuk mempengaruhiku. Lebih dari itu, dia pun mulai berdoa bagiku sekarang dan mencoba menolongku dalam segala hal. Dia bahkan udah jadi Kristen selama dua minggu sekarang. Aku berjanji padanya akan baca buku itu dan meletakan buku itu di atas meja. Setelah itu dia tidur dan aku pun baca buku lain. Tapi ada sesuatu yang mendorongku untuk memeriksa buku dari sepupuku itu. Aku lalu membacanya sendirian di ruang belajar. Kubuka halaman pertama. Tampaknya buku ini cukup menarik untuk terus dibaca. Penulisnya berasal dari abad lalu dan biasanya aku tidak suka baca buku² tua, tapi buku ini tampak berbeda bagiku. Kalimat²nya tersusun rapi dengan indahnya, setidaknya begitulah perasaanku. Setiap kalimat yang kubaca mendatangkan perasaan tenang. Satu paragraf menarik perhatianku: “Di hari pengadilan, Tuhan akan bertanya padamu: ‘Apa yang telah kau lakukan terhadap AnakKu? ‘
Tapi aku telah banyak berbuat baik, Tuhan; aku lakukan ini dan itu …!
Tapi jawab Tuhan: ‘Aku tidak bertanya tentang perbuatan baikmu, tapi kutanya apa yang telah kau perbuat terhadap AnakKu?’

Kalimat² ini membuatku tercengang dan menarik seluruh perhatianku. Bukannya perbuatan baik, renungku, tapi apa yang telah kau perbuat terhadap Yesus. Apakah kita telah menerimaNya dalam hidup kita atau tidak? Ini tampaknya bagaikan pertanyaan akan hidup kita. Tepatnya, hidupku saat ini. Sebelumnya aku mengira hanya melalui perbuatan baik aku bisa menghadap Tuhan, dan menurut penjelasan di buku itu, hal itu sia² belaka. Pada saat itulah terjadi kehancuran dalam hidupku, dan jiwaku mengalami masa revolusi. Aku merasa bagaikan Tuhan berbicara padaku melalui buku itu. Dan tak lama setelah aku membaca dan merenungkan hal ini dan berbagai ayat di dalamnya, sesuatu yang lebih ajaib terjadi padaku. Aku mendapat penglihatan. Di dalam benakku tampak jelas dua sosok manusia. Rasanya bagaikan menonton adegan di tembok² ruangan, meskipun penglihatan itu hanya terjadi dalam benakku. Aku melihat seseorang berlutut dan orang ini berwajah sangat buruk, kulitnya melepuh, berambut panjang, dan dia menangis keras. Orang yang lain berdiri di sebelahnya dan mengenakan baju dan jubah putih menyala. Dia tampak bagaikan Yesus di film Kristen yang baru² ini kulihat. Tapi aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena tampak kabur. Orang berbaju putih ini merenggu rambut orang yang sedang berlutut. Aku bisa melihat wajahnya yang buruk dengan sangat jelas dan dia menjerit dan melolong keras. Awalnya, aku sangat takut dengan apa yang kulihat. “Aku tentunya sudah gila,” demikian pikirku. Tapi setelah itu aku mendengar suara yang lembut tapi jelas dalam benakku yang memberitahuku: “Kau lihat orang yang sedang berlutut itu? Orang itu adalah setan yang selama ini terus menipumu. Tuhan membebaskanmu saat ini dan kau akan merdeka untuk selamanya.” Penglihatan baru lalu muncul dalam benakku, dan kali ini menampakkan Yesus Kristus disalib. Suara itu lalu mengatakan: “Yesus mati bagi dosa²mu. Dialah kebenaran dan satu²nya jalan.” Aku segera sadar bahwa Tuhan sedang menunjukkan padaku jalan dan kebenaran yang selama ini kucari. Aku merasa diriku berdosa dan aku lalu bertobat dan menyerahkan hidupku pada Yesus. Sekarang aku sangat yakin akan kebenaran. Aku merasakan di sepanjang hidupku Tuhan tidak pernah terasa sedekat dengan diriku seperti saat ini. Tuhan sendiri menyatakan diriNya padaku dengan cara yang sangat langsung dan ajaib. Tuhan sendiri yang datang menjawab doa² yang kupanjatkan setiap hari. Aku merasakan kelegaan besar. Sekarang aku bebas dari segala pertanyaan dan suara² jahat pihak musuh yang menyerangku. Tiada lagi peperangan dalam benakku. Aku merasa benar² diperbaharui, jadi orang baru sepenuhnya. Karena sudah mengalami pengalaman ini, aku tidak pernah bisa lagi jadi orang yang sama seperti dulu. Aku letakkan imanku dalam Yesus Kristen, dan, untuk pertama kalinya dalam hidupku, kusebut dia sebagai Tuhan dan Penyelamatku. Aku tidak kuasa menahan air mata. Sungguh luar biasa. Semuanya yang dulu kuimani, dalam sekejap mata hilang begitu saja. Tiada lagi ketakutan melakukan syrik atau ancaman hukuman neraka. Terlebih lagi, aku sekarang mengerti bahwa orang² Kristen tidak menuhankan orang biasa, tapi sebaliknya mereka tahu bahwa Tuhanlah yang datang ke bumi dalam wujud manusia. Hal ini sekarang jadi masuk akal bagiku karena kutahu Dia cinta umat manusia. Aku merasa bagaikan melalu lubang kecil yang sukar dan karenanya aku sedikit berdarah, menuju ke bagian lain yang penuh cahaya terang. Sekarang aku yakin aku berada di tempat yang aman dan para musuh sudah kalah berperang melawanku. Malam di tanggal 1 Maret, 1998 adalah pengalaman tak terlupakan yang mengubah seluruh hidupku.

Aku ingin membangunkan sepupuku yang sedang tidur di kamar lain, tapi aku memilih menunggu keesokan harinya untuk kabar mengejutkan. Di pagi harinya, begitu dia buka mata dari tidurnya, aku berseru padanya, “Selamat pagi, saudaraku.” Aku katakan padanya bahwa sekarang aku percaya Yesus Kristus. Dia mengira aku bercanda saja, tapi aku tetap serius memberitahukannya. Dia tidak percaya apa yang kukatakan.
Pikirnya, “Kemaren malam kami berdebat panas dan dia menolakku sepenuhnya, dan sekarang dia menyebutku sebagai saudaranya?”
Dia bertanya padaku,”Apakah kau benar² yakin? Ngomong apa sih kamu?”
Kujawab, “Iya, aku benar² yakin telah menemukan kebenaran. Aku telah menemukan kebenaran dalam Yesus.”
Kupeluk dia dan kuceritakan segala penglihatanku tadi malam. Kami bersuka cita bersama karena kami sekarang punya roh yang sama.
“Ini sungguh muzizat,” katanya. “Kau jadi berbeda dalam waktu semalam saja.”
Dia lalu memimpin doa bersama dan kami pun terus mengikut Yesus.

Kurenungkan kembali apa yang telah kualami. Tuhan sendirilah yang bertindak sehingga akhirnya aku percaya Yesus. Dulu aku percaya Dia hanyalah sekedar Nabi dan aku takut untuk memandangnya sebagai Tuhan, tapi sekarang aku malahan merasa tenteram karena beriman padaNya memberiku hidup yang kekal. Sekarang jika aku mengingat apa yang telah Yesus lakukan bagiku, hatiku penuh dengan rasa sukacita, damai, dan aman karena punya hidup yang kekal. Sungguh perbedaan yang sangat besar dengan yang dulu kurasakan.

Akan tetapi keputusanku untuk percaya pada Yesus karena tindakan Tuhan mendatangkan masalah sukar bagiku. Tak lama kemudian, keluargaku curiga terhadapku. Suatu hari, saudara sepupuku yang lain mengajakku untuk pergi bersamanya melakukan sholat Jum’at. Kukatakan padanya bahwa aku tidak bisa pergi dengannya ke mesjid karena sekarang aku percaya bahwa Alkitab adalah firman Tuhan dan percaya pada Yesus dan tidak lagi pada Muhammad. Awalnya dia kira aku bercanda, tapi setelah aku ngotot barulah dia percaya akan perubahan diriku. Dia segera menyampaikan hal ini pada paman²ku yang lain dan berita inipun menyebar sampai ke ayahku. Salah satu paman²ku adalah haji, dan dialah yang membiayaiku belajar di perguruan tinggi di Prishtina karena orangtuaku tidak mampu menolongku. Dia adalah Muslim taat dan aku dulu telah berjanji padanya untuk sungguh² belajar dan terus beriman pada Islam. Aku merasa tidak enak dengan janjiku yang dulu itu tapi sekarang Yesus jauh lebih penting bagiku. Aku yakin aku akan kehilangan bantuan finansialnya begitu dia tahu aku murtad, meskipun dalam hati aku yakin Tuhan tidak akan meninggalkanku. Di lain pihak, sejak kematian abangku, ayahku mulai beribadah Islam dengan taat, termasuk sholat lima waktu. Tentunya berita murtadku mencengangkan dirinya.

Segera setelah ayah mendengar perubahanku, dia datang dengan cepat menemuiku untuk bertanya apakah berita itu benar. Saat itu aku sedang berada di rumah ayahku. Ayah berkata,”Aku tidak mau percaya berita itu sebelum bicara denganmu. Apakah benar?” Aku berkata padanya bahwa berita itu benar, dan aku tidak lagi percaya pada Muhammad. Jantungku berdebar-debar keras sekali. Aku tidak percaya bahwa aku punya keberanian untuk mengatakan langsung perubahanku. Ayah sangat terkejut dan marah, dia berharap aku membatalkannya dan mengatakan yang sebaliknya. Dia langsung pergi keluar dan melakukan kegiatan berkebun sambil memikirkan hal ini. Aku memperhatikannya dari jendela kamarku dan bisa kulihat jelas bahwa dia sangat gelisah. Dia berhenti bekerja sebentar, menyentuh kepalanya, jalan² sebentar, dan lalu kembali bekerja. Di malam harinya, dia menemuiku lagi dan kali ini dia bertekad bicara sampai selesai. Dia memulai pembicaraan dengan perlahan, “Ketahuilah bahwa saudara²ku ingin dapat jawaban darimu besok; aku tidak bisa bertemu dengan mereka jika kau tidak berjanji akan jadi Muslim lagi. Kau harus merubah pendirianmu malam ini.” Ini merupakan tekanan padaku meskipun tidak terlalu keras. Aku berkata, “Dengan penuh sesal, aku tidak bisa melakukannya. Kau bisa meminta apapun dariku kecuali meninggalkan Yesus. Aku benar² telah merenungkannya dengan seksama sebelum mengambil keputusan dan aku tidak bakal kompromi akan hal ini.” Sewaktu aku bicara pada ayah, sebuah ayat Alkitab muncul di benakku: “Siapapun yang menyangkalKu di hadapan manusia, Aku akan menyangkalnya pula di hadapan Bapaku di surga.” (Matius 10:33). Aku tidak boleh menyangkal Yesus, karena apa yang Dia lakukan terhadapku, begitu pikirku. Tak lama kemudian ayahku berlutut di lantai dan mulai menangis: “Kumohon jangan lakukan ini terhadapku. Hal ini merupakan hal yang paling memalukan yang pernah kualami. Aku telah kehilangan seorang putraku dan sekarang satu²nya putraku yang lain memalingkan punggungnya terhadapku. Ini merupakan hal yang lebih jelek bagiku daripada kehilangan putra sulungku. Aku tidak tahan menanggungnya, aku tidak bisa.” Ini pun merupakan pengalaman terjelek yang pernah kualami. Aku tidak pernah membayangkan ayahku berlutut menangis di hadapanku. Terlebih lagi, dalam budaya kami hal ini sungguh tidak bisa dibayangkan. Aku pun tidak tahan akan keadaan ini dan mulai menangis. Kataku: “Kumohon agar jangan memintaku menyangkal imanku pada Yesus karena aku tidak sanggup melakukannya. Jika keberadaanku di rumahmu membuat situasi semakin jelek, maka besok aku akan segera pergi dari sini.” Dia lalu berkata dengan nada yang lebih agresif: “Tapi aku adalah ayahmu, aku yang menciptakanmu. Kau harus menurut padaku, “ katanya. Dia melanjutkan: “Apakah Alkitabmu mengajarmu untuk mentaati orangtuamu?” Kujawab, “Ya, memang Alkitab mengajarkan begitu. Tapi pertama-tama, kita musti taat pada Tuhan.” Aku ingat Matius 10:37 yang menyatakan “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” Aku berlari ke kamarku sambil berdoa pada Tuhan agar hatiku tenang menghadapi keadaan. Ayahku lalu masuk kamarku. Alkitabku tampak di atas mejaku yang penuh dengan buku² Kristen. Dia melihatku, lalu mengambil Alkitab dan mulai merobeknya lembar demi lembar. Setelah selesai merobek Alkitab, dia mengambil semua buku²ku di atas meja dan juga di lemari buku dan menyobeki semuanya. Dia berkata, “Imam mesjid ternyata benar tatkala dia mengatakan padaku untuk tidak mengijinkan anakku baca buku² seperti ini karena buku² bisa merubah iman orang. Aku belagak sok pinter dengan berkata padanya bahwa anakku hanya baca² karena ingin tahu saja. Aku bangga bahwasanya anakku punya rasa ingin tahu yang besar. Sekarang ini terima buku²mu dan jangan lagi bawa buku seperti ini ke dalam rumahku.” Dia membentakku. Aku tidak melakukan apapun, karena aku tahu ayahku sangat marah. Hatiku sangat sakit melihat buku² Kristenku, termasuk Alkitab, dirobek-robek.

Tak lama kemudian aku pun meninggalkan rumah ayahku dan kembali ke Prishtina di mana aku kuliah. Aku berdoa karena aku tahu sekarang nabisbku benar² berada di tangan Tuhan. Paman yang dulu membiayai kuliahku mengatakan bahwa sebelum aku kembali lagi jadi Muslim, dia tidak akan membiayai kuliahku. Aku mengerti keputusannya, karena dia adalah haji dan tidak mungkin baginya menolong orang Kristen kuliah. Aku tetap saja percaya pada Yesus dan yakin Dia akan menunjukkan jalan keluar. Tak lama kemudian aku dapat kerjaan di Prishtina sehingga aku tidak usah mengemis-ngemis pada siapapun dan tidak perlu kompromi dengan iman baruku. Aku punya pekerjaan penuh (fulltime job = 40 jam selama 5 hari kerja) di organisasi internasional dan harus berhenti kuliah beberapa tahun sampai aku punya uang cukup untuk menyelesaikan kuliah. Tuhan membuktikan bahwa Dia setia dan nyata bagiku. Tidak sedetikpun aku merasa ditinggalkan atau dilupakan. Dia menunjukkan kemurahanNya padaku.

Hubungan dengan ayah terus saja sulit selama hampir empat tahun. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun padaku selama itu. Ketika aku pulang menjenguk mereka – terutama ibuku, karena dia paling menderita – ayah bahkan meninggalkan rumah karena tidak mau bertemu denganku dan lebih memilih bertemu dengan orang² lain. Aku selalu berusaha mendekatinya lagi, tapi dia tidak membuka kesempatan bagiku. Menurut pandangan ayahku, aku sudah bukan lagi putranya karena dia anggap aku sudah mengkhianatinya, tidak mau mentaatinya padahal dia sudah memohon padaku, dan aku telah mempermalukannya di hadapan orang² lain. Berdasarkan Qur’an dan ahadis, sebagai Kristen aku tidak layak lagi menerima warisan rumah atau harta bendanya yang lain. Dia berkata akan mewariskan segala yang dimilikinya bagi masyarakat Islam. Terlebih lagi, dia berkata pada ibuku bahwa si Ibrahim seharusnya bersyukur karena Syariah Islam tidak diterapkan di Kosovo. Kalau Syariah berlaku, maka aku tentunya dihukum karena murtad. Dia tahu sekali apa yang dinyatakan Syariah tentang murtad dan dia sendiri bersyukur kami hidup di negara sekuler sehingga aku tidak usah mati karenanya. Meskipun demikian, dia tetap tidak mau berhubungan lagi denganku. Aku berdoa bertahun-tahun akan keadaan kami dan hampir saja putus asa mengira aku tidak akan pernah lagi berbicara dengannya. Tapi apa yang tampak tidak mungkin bagiku ternyata mungkin di mata Tuhan. Suatu malam, ketika aku kebetulan sedang berada di rumah ortu, ayah tiba² sakit dan pingsan. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya, dan kukira dia kena serangan jantung. Lalu aku menyadari bahwa ayah telah mengalami diare selama berhari-hari karena terserang infeksi. Aku bawa dia ke rumah sakit dan merawatnya selama beberapa hari. Aku lihat sikapnya bertambah lunak padaku dan dia mulai berbicara padaku lagi. Kami semakin dekat satu sama lain meskipun aku tidak kompromi apapun dengan imanku. Tuhan sekarang bekerja dalam diri ayahku dan aku mulai mendapatkan ayahku lagi. Tidak kukira keadaan sakit ayahku malah menyatukan kami kembali. Aku memuji Tuhan karena jalanNya sungguh berbeda dengan jalan pikiran kita.

Hal lain yang mengganggu perasaan ayahku adalah hubunganku dengan seorang gadis Kristen. Setelah hubungan kami membaik, dalam percakapan kami dia berharap agar aku mendengarkannya dan mau menikah dengan Muslimah yang mungkin nantinya bisa mempengaruhiku untuk kembali memeluk Islam. Di saat dia mengetahui aku pacaran dengan seorang gadis Kristen, dia jadi kecewa lagi. Habislah sudah harapan terakhirnya dan dia sangat tidak suka akan keputusanku. Dia berkata, “Aku tidak akan menerima kalian sebagai pasangan dalam rumahku.” Tapi aku harus bersabar dan berdoa terus untuk berjalan terus ke muka bersama imanku. Suatu saat aku mengambil keputusan untuk pulang mengunjungi keluargaku sambil membawa pacarku. Aku ingin ayah bertemu dengan calon istriku. Aku sudah siap menghadapi segalanya; yang terjelek adalah kami berdua diusir dari rumahnya. Tapi sungguh mengejutkan karena ayah ternyata bersikap ramah sekali terhadap pacarku. Ayah sangat suka padanya dan bahkan lebih banyak bicara padanya daripada denganku. Aku lihat tangan Tuhan bekerja sekali lagi. Kami pun lalu menikah dan hidup di rumah ortu sampai hampir setahun sebelum akhirnya kami pindah ke Prishtina karena pekerjaan.

Sekarang jika aku membandingkan kepercayaanku yang sekarang dengan yang dulu, aku melihat banyak perbedaan. Hal ini bukannya karena dulu aku tidak bahagia dengan Islam, tapi imanku yang sekarang sungguh tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Aku merasa Yesus memenuhi kekosongan dalam hatiku. Kekosongan ini dulu tidak mungkin diisi oleh apapun, baik agama ataupun perbuatan baik, karena ternyata tempat kosong dalam hati itu memang diciptakan untuk dihuni Tuhan sendiri.

Selain itu, setelah menerima Kristus, segala perbedaan lain antara agamaku yang dulu dan yang sekarang jadi jelas bagiku. Iman Islam terasa statis. Aku dulu percaya Tuhan itu memang ada, tapi jauuuh sekali dariku tidak peduli berapa banyak aku sholat atau puasa. Semua ibadah kulakukan karena rasa takut akan Allâh dan ancaman hukumannya. Sekarang, imanku berfungsi dan berdasarkan hubungan pribadi dengan Tuhan. Setiap perbuatan baik yang kulakukan sekarang merupakan hasil hubungan kasihku dengan Tuhan, dan bukannya dari rasa takut. Hal ini tentunya berhubungan pula dengan sifat Tuhan itu sendiri. Tuhan dalam Alkitab menyatakan diriNya sebagai Tuhan yang pribadi, dan inilah yang kualami hidup bersamaNya selama bertahun-tahun sampai hari ini. Tuhan adalah Bapa bagiku dan aku adalah anakNya, dan dalam Islam hal seperti ini dianggap sebagai penghujatan. Aku sekarang menyadari bahwa Tuhan mencintai orang² berdosa tapi tidak mencintai dosa² itu, sedangkan dulu aku diajari melalui Qur’an bahwa semua orang² berdosa akan dibakar di neraka. Setelah itu masalah yang harus dihadapi adalah jaminan kehidupan yang kekal setelah mati. Sewaktu dulu masih Muslim, aku tidak pernah merasa tenang karena tidak tahu ke mana aku akan pergi setelah mati. Meskipun aku telah berusaha keras untuk melakukan hal² yang baik, aku tidak pernah merasa cukup untuk bisa masuk surga. Sekarang aku tahu bahwa Yesus mengambil alih kutukan dosa terhadapku melalui mati di kayu salib bagi dosa²ku dan aku tidak perlu lagi membayarnya karena memang sudah dilunasi. Aku jadi yakin bahwa aku tidak usah lagi khawatir apakah kebaikanku lebih berat daripada kejahatanku jika ditimbang di Hari Kiamat. Hidup yang kekal berdasarkan iman pada Yesus adalah hadiah yang ditawarkan Yesus padaku sekali dan selamanya. Dulu aku sering bertanya-tanya: Mengapa ya aku kok tidak pernah jauh dari dosa meskipun aku sudah melakukan segala kegiatan spiritual sekuat tenaga? Aku tidak suka akan hal itu tapi tidak mampu untuk tidak melakukan dosa dalam hidupku. Setelah percaya pada Yesus Kristus, aku sadar bahwa aku punya kekuatan dalam diriku untuk mencegah tindakan berdosa dan menolak melakukannya. Ini tidak berarti aku tidak akan pernah lagi berbuat dosa karena aku masih saja terus berjuang mengalahkan sifat jelekku yang dulu, tapi ini berarti dosa tidak lagi berkuasa atas diriku. Satu lagi hal yang dulu kurasakan: semakin aku percaya pada Islam, semakin besar pula rasa benciku pada orang² Yahudi dan Kristen. Tapi sekarang rasa benci telah lenyap dari hatiku. Malah lebih dari itu, aku mencintai Muslim meskipun mereka benci terhadapku. Kekuatan benci telah diganti dengan kekuatan kasih. Sholat dan puasa hanyalah kegiatan mekanis seperti robot saja. Aku belajar menghafal berbagai Sura dalam bahasa Arab, yang dianggap Muslim sebagai bahasa surgawi, tapi tidak kumengerti dan kulafalkan saja Sura² itu bagi Allâh. Sekarang, kegiatan doaku jauh lebih berarti karena aku bicara dalam bahasaku sendiri dan aku tidak mengikuti aturan² gerakan apapun. Aku berkata saja pada Tuhan segala isi hatiku dan aku tahu Dia akan selalu mendengarkanku. Andaikata pun aku puasa sekarang, aku tidak memberitahu siapapun. Cukup hanya Tuhan yang tahu dan melihatnya. Melalui puasa, aku berusaha mendekatkan diri pada Tuhan dengan mengenyampingkan hal yang paling utama dalam hidup yakni makanan. Aku meninjau kembali hidupku, meminta ampun atas segala dosaku, berdoa dan menatap hari depan sesuai dengan rencana Tuhan dan aku akan menyembahNya sebagaiamana keberadaanNya.

Wahai teman², begitulah kisah bagaimana aku mengenal Yesus secara pribadi dalam hidupku. Sungguh hal itu merupakan hal yang paling berharga dalam hidup. Iman pada Yesus tidak ada hubungannya dengan agama, atau masalah agama ini lebih baik daripada agama itu, tapi lebih berhubungan langsung dengan hubungan baru yang sifatnya pribadi dengan Tuhan. Aku ingin kalian semua yang membaca kisahku menyadari tentang Yesus Kristus dan meminta Tuhan untuk mewujudkan diriNya padamu karena Dia itu setia dan menunggumu senantiasa. Terlebih lagi, Dia sendiri sudah berjanji untuk menjawabmu jika kau mencariNya dengan sepenuh hati:Mintalah,maka akan diberikan kepadamu;carilah,maka kamu akan mendapat;ketoklah,maka pintu akan dibukakan bagimu (Matius 7:7)

Wahai teman², di masa lalu aku telah banyak berbuat kesalahan dan menyesal akan banyak hal, tapi satu hal yang tidak pernah kusesali adalah saat penting di mana aku beriman pada Yesus Kristus selamanya, sebagai Tuhan dan Juru Selamatku.

Ingat ya, pada saat ini Dia menyatakan ajakan padamu untuk memiliki hidup baru denganNya, hidup yang penuh sukacita dan damai. Keputusan tentang nasibmu yang abadi terletak di tanganmu.

Jangan sungkan menghubungiku dengan pertanyaan apapun. Semoga Tuhan memberkatimu secara berlimpah!

Ibra.

 

 

 

 
2 Komentar

Ditulis oleh pada September 1, 2012 inci Kesaksian

 

Tag: , , , , , , , , , , , ,

Saifuddin Ibrahim Mendapat Hidayah

BAB I
Mondok, nyantri

Saifuddin Ibrahim, nama yang diberikan orang tua saya. Nama kecil : One Pela atau One Prado. Ayah guru agama. Belajar mengaji dari ibu dan nenek. Dari keduanyalah saya memahami betapa jauhnya pemahaman ajaran Qur’an dan Alkitab terutama dalam hal sejarah. Saya menyelesaikan SMA di BIMA. Puji Tuhan saya mendapat beasiswa kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta dan mengikuti pendidikan agama di pondok Hajjah Nuriyah Shabran Surakarta. Fakultas Ushuluddin jurusan perbandingan agama. Setelah kuliah, saya mengajar di Bangsri Jepara, 1996 dan mengajar di Pesantren Darul Arqom Sawangan Depok Jabar.

Kesaksian ini saya bukukan karena alasan bahwa iman tidak bisa disembunyikan. Iman harus dinyatakan dalam bentuk amal dan ilmu. Alasan kedua bahwa manusia tidak boleh membangkitkan sentimen agama untuk membenci sesama manusia. Ketiga bahwa Alkitab adalah warisan zaman yang lengkap dengan falsafah hidup toleransi dan damai dan solutif bagi semua persoalan manusia.

Tahun 1999 saya mengajar di Haurgeulis Indramayu, pesantren terbesar di Indonesia. Luasnya 1200 hektar. Sarana pembelajaran lengkap. Di tengah-tengah kampus berdiri masjid raksasa tujuh lantai dengan kapasitas 150,000 jemaah. Ruang bawah tanah dapat menampung 1000 mobil parkir. Lahan yang 1000 untuk pertanian dan peternakan. Dari hasil pertanian, pesantren ini sudah mampu memenuhi 50% keperluan beras, buah dan sayuran. Peternakan, pertanian, perikanan semua maju pesat. Ketika saya keluar dari pesantren, ada 1500 kepala sapi dari berbagai jenis, 2000 kepala domba, 1500 kambing peranakan Etawa. Dan telah mampu melakukan konversi lahan tandus menjadi ekosistem yang sejuk. Seluruh yang dihajatkan oleh penghuni modern telah siap, ada laundry, kitchen set, toserba, pos giro bahkan bank. Sehari-hari ada 11000 siswa, 2500 karyawan dan 800 guru. Saya adalah dewan guru 12, kepala Humas dan editor majalah AL Zaytun. Setiap hari yayasan harus memasak beras 5 ton, tempe 1 ton, tahu 1 ton buah-buahan 4 ton, sayur 4 ton. Pekerjaan apapun dilakukan sendiri oleh yayasan.

Selama 6 tahun saya mengajar Alqur’an, hadits, Aqidah, Akhlak, sejarah kebudayaan Islam dan Jurnalistik. Mengajar di sana harus serba bisa, memiliki banyak kemampuan dasar dalam bidang olahraga, seni, keterampilan atau apa saja. Karena seorang guru harus tampil prima, fit, dan smart. Dari pesantren inilah sejarah awal saya mengenal Tuhan.

BAB II
The Gideons

Akhir November 2005, saya menerima tamu dari The Gideons International Camp Jakarta dan Camp Cirebon, sebuah organisasi dunia yang membagi-bagikan Alkitab secara cuma-cuma, dan pesantren kami mendapat hadiah 1400 Alkitab. Perkenalan inilah yang menjadi jembatan saya mngenal Tuhan. Saya mengajak mereka keliling kompleks, masuk ke seluruh fasilitas dan terakhir minta kepada ketua rombongan berdoa di masjid. Setelah mereka puas keliling, mereka diwawancarai oleh wartawan dan dimuat dalam majalah kami. Kemudian saya kirimkan bukti berita kepada mereka. Saat itu belum terjadi apa-apa pada hati saya. Mereka pulang, kami antar sampai mobil mereka hingga hilang dari pandangan mata kami.

“Nubuat Pimpinan”

Goncangan terjadi ketika saya diundang natalan bersama di Cirebon. Hari itu mestinya saya hadir dalam acara lain, tapi pimpinan mengganti ketua rombongan menjadi orang lain, padahal sudah dibuat surat tugas bahwa saya adalah ketua rombongan. Jam 12 malam surat tugas dibatalkan. Akhirnya hari itu saya tugas seperti biasa (tidak jadi pergi), mengawal tamu yang berkunjung ke pesantren kami. Jam 7 malam saya laporkan tugas kepada pimpinan. Usai melapor, saya masih diajak ngobrol, tiba-tiba kepala perkhidmatan kesehatan angkat bicara “Katanya ustadz Saifuddin Ibrahim yang hadir natalan bersama di Cirebon?” Langsung pimpinan yang menyeloroh, “Kalau ustadz Saiffudin Ibrahim yang diutus ke acara natalan, bisa-bisa nanti pulang jadi pendeta Abraham.” Semua yang mendengar tertawa.

Hari itu tanggal 16 Januari 2006 pimpinan tertinggi pesantren terbesar di Asia tempat saya mengabdi, membatalkan surat tugas untuk saya. Ada perasaan masygul, saya yang diundang, malah orang lain yang diutus. Tetapi saya menghibur diri bahwa dibalik itu pasti ada hikmah besar, ada rencana besar dari Tuhan. Beliau telah bernubuat untuk saya. Itu juga sebabnya kenapa saya (sekarang) lebih suka dipanggil Abraham. “Nubuat” tersebut ternyata benar-benar terjadi. Enak untuk saya, tidak enak untuk pimpinan saya. Sejak nubuat itu diucapkan, ada percikan api dalam hati saya dan ini adalah api iman yang memudahkan saya melakukan hijrah hati. Api kecil itu berkobar, dan terus membesar. Api kalau kecil jadi teman, besar menjadi musuh dan memusnahkan harta kita. Andai itu api biasa mungkin saya bisa memadamkannya tetapi ini api iman, jadi susah dipadamkan. Saya tidak sanggup untuk memadamkan api iman ini. Sejak “ucapan” pimpinan saya, ada suatu perasaan yang aneh terjadi dalam hati, perasaan yang berkobar-kobar, bahwa saya harus menjadi orang kristen. Tapi bagaimana caranya? Saya tidak tahu. Apakah saya akan datang ke gereja-gereja lalu menyatakan masuk Kristen? Wah gengsi! Saya adalah guru sebuah pesantren tiba-tiba masuk Kristen, itu sebuah ironi dan tidak masuk akal. Dan belum tentu juga mereka berani menerima saya. Kalau saya ke gereja, orang-orang kristen pasti takut karena ada 3 wanita Haurgeulis yang dijatuhi hukuman penjara 3 tahun di Indramayu sebab mengajarkan lagu-lagu gereja kepada anak balita lalu dituduh sebagai penista agama. Padahal desa itu dulu mayoritas kristen, tapi karena sulit ekonomi mereka pindah agama.

Sebenarnya, perasaan gundah ini sudah mulai terjadi sejak akhir thaun 2005. Saya merasa jenuh, tawar dan hampa. Dalam suasana seperti itu saya mulai dihinggapi perasaan takut akan dosa, takut mati, tapi ingin selamat. Saya seperti hidup tanpa harapan lagi. Saya jatuh ke dalam sumur tanpa dasar. Tak tahu entah kapan berkesudahan. Saya optimis suatu saat akan ada suasana puncak dari kehidupan rohani saya, tapi tawar hati dan kekosongan jiwa terus menekan hari-hari yang saya lewati.
Tuhan menarik saya untuk mendekatiNya, sudah dua bulan saya tidak mengajar. Kalau ada teman datang, saya suruh istri saya untuk bilang saya tidak ada padahal saya sembunyi di kamar. “Itu motornya ada!”, kata mereka. “Iya tapi abi Ibrahim gak ada”, kata istriku berbohong.

Februari 2006 saya telepon pak Bagdja, saya mau bilang kalau saya mau masuk Kristen.

“Halo pak, ini saya ustad Saifuddin Ibrahim, masih ingat saya?”
“Masih!”, jawabnya.

Setelah basa-basi, saya bilang saya ingin bertemu.

“Kapan bisa ketemu?”
Lalu jawab beliau, “Kapan saja boleh.”

Mendengar jawaban bersahabat seperti itu saya semakin bersemangat. Saya bilang “Besok!” Sore hari saya sampai di Cirebon, sudah disiapkan kamar hotel. Tapi sampai jam 10 malam saya tidak bisa bilang pada pak Bagdja kalau saya mau masuk kristen. Pak Bagdja pulang ke rumahnya. Saya sendirian di hotel dan berjanji dalam hati, besok saya akan katakan saya mau masuk Kristen.

Pagi-pagi pak Bagdja mengajak saya makan nasi Jamblang di pelabuhan. Saya tetap tidak bisa mengutarakan tujuan saya ke Cirebon. Sampai makan siang, check-out dari hotel, saya tetap tidak bisa mengatakan keinginan saya. Sampai diantar ke stasiun kereta saya tetap tidak bisa bilang apa-apa. Saya naik kereta api Cirebon Express seharusnya turun di Indramayu tetapi bablas ke Jakarta. Kereta berhenti di Gambir. Saya turun. Kacau balau!! Kacau semua rencana saya! Saya telepon teman-teman saya.

Puji Tuhan ada yang nyambung. “Kebetulan!” katanya, “Saya sdg mencari Anda untuk jadi pembicara dalam seminar membela orgnisasi-organisasi Islam yang sedang dihujat oleh sebuah majelis orang-orang pintar.” Kantor Ahmadiyah di Parung dihancurkan oleh kaum anarkis berjubah. Pengikut-pengikutnya dianiaya di Lombok. Usaha mereka dijungkirbalikan, harta dirampas bahkan sampai ada yang minta suaka keluar negeri.
Akhirnya saya ke seminar tersebut. Dalam seminar itu saya katakan pada peserta seminar, bahwa tidak ada satu ayat sucipun yang menyatakan bahwa golongan A, B, C sesat. Mereka tepuk tangan, sebelum saya turun mimbar saya membuat pernyataan bahwa sorga bukan milik siapapun. Sorga bukan milik orang Islam, Kristen atau yang lain tapi sorga adalah milik orang yang membangun dunia ini dengan toleransi dan damai. Semua yang hadir tepuk tangan. Begitu turun dari mimbar, seorang hamba Tuhan menyalami saya sambil berkata, “Saya merinding mendengar pernyataan bapak, saya belum pernah mendengar dari orang Islam bahwa sorga milik semua orang, yaitu orang yang hidup dalam toleransi dan damai.” Saya berkata dalam hati, kamu boleh saja merinding, kamu belum tahu kalau saya sedang kacau balau.

Kembali ke masalah pak Bagja. Karena berbicara langsung tidak bisa, menelepon lidahku kelu, akhirnya sms pun menjadi media yang mampu menjembatani rasa malu hatiku. Saya segera sms pak Bagdja, “Pak, sebenarnya saya bertemu dengan bapak kemarin, saya mau mengatakan kepada bapak, saya mau masuk Kristen.”

Begitu pak Bagdja menerima sms, malah dia yang kacau balau. Bingung. Sms saya dikirimkannya ke teman-temannya, dikirim juga ke presiden Gideon Indonesia, pak Ridwan Naftali. Tapi ada juga teman beliau yang memperingatkan agar waspada, jangan-jangan saya adalah penyusup. Tapi pak Bagdja berdoa untuk menenangkan hatinya.

Semenjak itu, konsentrasi kerja saya mulai terganggu, tetapi saya tetap mencoba terlihat ceria seperti biasa. Bahkan saya paling enjoy di antara 12 dewan guru. Pernah suatu kali teman-teman tertawa keras mendengar cerita saya tentang Abu Nawas.

“Sini kamu Abu Nawas”, kata raja. “Siap tuanku raja”, jawab Abu Nawas.
“Bunuh ayam ini”, kata raja. “Oh itu pekerjaan gampang tuan”, sahut Abu Nawas.
“Tapi ingat Abu Nawas, bagaimana kamu membunuh ayam ini, begitu pula aku akan membunuhmu. Kalau kamu potong lehernya, saya potong leher kamu. Kalau kamu tusuk perutnya, saya tusuk perut kamu. Kalau kamu racun ayam ini, kamu juga akan saya racun.” “Wah gawat ini!”, kata Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berpikir sejenak, ia membawa ayam tersebut ke belakang untuk membunuhnya. Sesaat kemudian Abu Nawas kembali dengan ayam yang sudah mati lemas kepada raja. Raja memeriksa ayam tersebut, tidak ada bekas dipotong, diracun ataupun ditusuk. Heranlah sang raja dan bertanya pada Abu Nawas, “Bagaimana kamu membunuh ayam ini?” Sambil membuka celana dan membelakangi raja, Abu Nawas memperlihatkan pantatnya sembari berkata, “Tuanku, saya meniup pantat ayam ini selama beberapa menit. Maka matilah ayam ini. Silahkan tuanku tiup pantat saya.” Raja terdiam. Sunyi. Hari itu Abu Nawas mendapat hadiah dari sang raja karena kecerdikannya. Akibat guyonan saya , Nawawi ketua dewan guru menghukum saya tidak mengajar selama 2 hari. Mungkin karena dianggap terlalu jorok.

“MASUK KRISTEN??”

Saya bagaikan kapal yang mati mesin, diombang-ambingkan gelombang. Mengajar tidak konsentrasi, ditegur atasan, tetapi saya tetap tidak pernah cerita kepada siapapun termasuk pada istri saya.

Ada kerinduan membara dalam hati, bahwa saya harus masuk Kristen.

Masuk KRISTEN? Sanggahku dalam hati. Mana boleh saya masuk Kristen!!
Di pesantren saya adalah dewan guru paling dikenal oleh santri dan wali santri, akrab dengan karyawan. Dikenal baik oleh masyarakat Haurgeulis – Indramayu dan para tamu-tamu yang sering berkunjung. Kristen adalah keyakinan yang paling saya takuti, karena itu saya serang dan lawan! Saya adalah kader Muhammadiyah pusat, dididik dalam disiplin ketat, dibeasiswai oleh organisasi besar di Indonesia. Paman saya adalah pendiri Muhammadiyah di Bima, mertua saya tokoh di Jepara. Saya malu.
Saat masih kuliah saya berhasil mengislamkan 15 orang Kristen melalui dakwah2 di desa-desa Soli, Wono Giri, Sukoharjo, Klaten. Bahkan seorang pendeta pun pernah saya islamkan.

Sekali lagi, masuk Kristen?? Ah mana boleh saya masuk Kristen. Sebagai guru, saya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah saya ajarkan kepada murid-murid saya. Untuk menenangkan hati, saya mencoba membaca Alquran dengan harapan tidak sampai masuk Kristen. “Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu. KepadaKu tempat kembalimu yang terakhir dan apabila mereka memaksa engkau untuk musyrik kepadaKu dan kamu tidak ada pengetahuan tentang itu, janganlah engkau taat kepada mereka, dan tetaplah bergaul dengan mereka di dunia dengan baik dan ikutlah jalan orang yang kembali kepadaKu.” Qs 31:14-15. Pikir saya, ayat ini akan semakin menguatkan iman Islam saya. Tetapi ternyata malah semakin membuat saya bimbang dan ingin bertekun dalam TUHAN. Saya berdoa, “Tuhan, beritahukanlah jalan-jalanmu. Bawalah aku berjalan dalam kebenaranMu. Sebab Engkaulah Tuhan yang menyelamatkan aku. Tunjukkanlah aku jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yg telah engkau beri nikmat atas mereka. Bukan jalan yang Engkau murkai dan bukan pula jalan yang sesat.”

Semakin saya merenung pada keyakinan lama saya, semakin tersingkap bahwa jalan yang sudah saya tempuh dulu membingungkan. Saya tidak mau seprti Amrozi, Imam Samudra, atau Nurdin M Top.

Sesungguhnya Isa benar-benar mengetahui hari kiamat, maka janganlah kamu ragu tentang kiamat. Ikutlah aku (Isa), inilah jalan yang lurus, Qs 43:61. Semakin tegap langkah saya mengikuti shirotal mustaqim yaitu Yesus Kristus. Dialah Jalan, Kebenaran, dan Hidup!

Saya menemukan kebenaran ajaran Kristen ini sama sekali bukan karena kepandaian atau kecerdasan mempelajari Alkitab dulu. Juga bukan karena ceramah pendeta/penginjil. Tapi ini semua adalah karya Roh Kudus. Sejak kuliah saya rajin baca Alkitab. Tiap minggu pagi saya dan Syamsul Hidayat ikut teologi yang diasuh oleh Kiai Arkanuddin Solo. Namun bukan untuk mencari kebenarannya melainkan untuk mencari ayat-ayat yang dapat menunjang pendirian saya sebagai mubaligh muda yang melawan derasnya arus iman orang Kristen dan menyerang mereka. Saya menulis “Jilbab dalam Injil” yang dimuat dalam majalah Panji Masyarakat. Saya juga menulis “Puasa menurut Agama-Agama Besar di Dunia”, “Sholat menurut Quran dan Alkitab”, “Kasih menurut Islam dan Kristen”. Rupanya saya selama ini terlalu keras hati memalingkan wajah dari FirmanNya. Roh kudus masuk kerelung hati saya sehingga tanpa disadari mengubah paradigma saya tentang kekristenan dan orang-orang kristen.

Saya membaca riwayat tokoh-tokoh Kristen yang menjadi muslim seperti Leopold Weiss, Ismail Alfaruqi, Roger Graudy, Mariam Jamilah termasuk Maurice Buccaille yang mengarang buku “Bible, Quran dan Sains Modern”. Saya sangat menghargai mereka, tetapi itu semua tidak menyurutkan semangat saya masuk Kristen. Saya tau bahwa mereka pindah agama karena ketidakpuasan terhadap praktek keagamaan, lingkungan, keluarga, dan gereja. Tetapi saya tahu persis diri saya, dan saya masuk Kristen bukan karena kekuatan saya melainkan kasih karunia Tuhan. Saya menjadi Kristen bukan karena saya tidak tahu agama.

Saya juga bertemu secara pribadi dengan orang-orang yg sudah masuk islam. Semua mengagumkan, tetapi panggilan yang ajaib mengalahkan semuanya. Bahkan saat saya mempersiapkan buku ini, ada murid saya yang menangisi saya setelah tahu saya manjadi Kristen.

“Abi gila”, tulisnya dalam sms.
“Saya minta maaf padamu nak”, balasku dengan sedih dan meneteskan air mata.
“Dian menyesal kita pernah bertemu dan abi mengajar Dian.”
“Aku tahu kalau Dian capek menangis terus, maafkan Abi nak!”, balasku lagi.

BAB III
EMPAT MARET

Inilah tanggal yang disepakati oleh saya dan pak Bagdja, untuk datang ke Cirebon dan menerima Yesus sebagai Juruselamat. Saya hanya ingin pak Bagdja dan istrinya saja yang tahu saya masuk Kristen, saya malu. Siang hari saya sudah siap naik kereta api dari Indramayu ke Cirebon. Jam 3 sore saya sudah sampai rumah beliau. Begitu buka pintu, saya kaget. Ada 18 orang hamba Tuhan di dalam rumah. Mereka dari Semarang, Cilacap, Cirebon dan Jakarta. Saya langsung pucat seperti mayat, tapi saya mulai berpikir mungkin syarat menjadi orang Kristen harus diterima banyak orang. Begitu duduk saya mulai ditanya macam-macam. Saya gugup, saya tidak suka ditanya-tanya. Saya menahan diri untuk tidak marah. Mungkin ini syarat kedua, kalau menjadi orang Kristen harus ditanya-tanya. Sore itu hampir saja saya gagal menjadi Kristen, karena ada pertanyaan yang membuat saya naik darah begini, “Apa agama yang membuat orang selamat dan masuk sorga?”

Saya kebingungan jawab apa, saya pikir kalau jawabannya salah saya ditolak jadi orang Kristen. Akhirnya saya memutuskan tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. “Pak, saya Ini orang buta, tuntun saya terima Yesus, sudah, jangan tanya macam-macam”. Semua terkesima dan tidak bertanya-tanya lagi. Mereka menarik saya ke ruang sebelah untuk membuat surat pernyataan di atas materai 6000. Setelah membuat surat pernyataan, jam 5 kami berdoa bersama-sama. Saya tidak biasa berdoa dengan mata tertutup, selama berdoa saya buka-tutup mata saya. Doa dipimpin pak Lukas dari Semarang. Setelah itu saya melihat mereka semua terharu dan meneteskan air mata. Saya tidak bisa menangis untuk hal semacam ini. Sebelum menjadi orang Kristen, saya tidak biasa menangis. Saya hanya bisa menangis kalau nonton film India. Selanjutnya saya banyak belajar dari mereka tentang Alkitab, menonton vcd kesaksian, berdoa, dan lain-lain.

Saya ke Semarang selama 3 hari untuk belajar berdoa, Alkitab, mendengarkan kaset, dan nonton VCD. Pulang ke Indramayu ketemu keluarga, pergi ke Jakarta, belajar di rumah mreka, pulang lagi. Istri saya bingung, saya semakin misterius. Perhatian saya selanjutnya adalah memindahkan keluarga dan mempengaruhi anak-anak agar keluar dari pesantren Al Zaytun Indramayu

BAB IV
SADDAM HUSEIN MENANGIS

Tatkala pulang dari Bima, anak saya nomor dua kelas 6 SD tanpa sengaja tahu bahwa saya masuk Kristen. Sore itu, kami bertamu ke pak Anton dirumah saudara Yusak Surabaya. Sebelum pulang, tuan rumah berdoa untuk menguatkan iman saya. Tiba-tiba tanpa diduga-duga Saddam masuk dan duduk sebelah saya. Mendengar doa itu dia menangis dan geram. Sampai di penginapan dia melempar sepatu dan pakaian yang baru dibeli, menangis dipojok dan mengintrogasi saya.

“Kenapa abi masuk Kristen?”
“Saya tidak masuk Kristen”, jawab saya.
“Tapi dalam doa pak Yusak, jelas Abi sudah menjadi orang Kristen”
“Saya tidak masuk Kristen, tapi saya tobat.”
“Itu namanya masuk kristen, Abi hanya berkelit.”
“Ok Saddam, sekarang mana yang lebih baik praktek agamanya, orang Kristen atau non-Kristen?”

Dia berpikir sejenak, tapi yang jelas beberapa hari mengikuti saya Saddam telah mampu membedakan cara bergaul orang Kristen yang teratur dan disiplin.

“Tetapi abi bisa memajukan agama kita”, rajuknya lagi.
“Jawab dulu pertanyaan saya Saddam.”
“Orang Kristen!”, jawabnya.
“Nah itulah jawabnya kenapa Abi masuk Kristen!”
“Saya tahu abi hebat dalam memimpin orang. Abi bisa kembali ke Bima dan memajukan agama kita di tempat kelahiran abi.”
“Saya hanya dapat memajukan manusia karena ada pegangan yang mampu mengubah manusia sesuai keinginan Tuhan. Alkitab melarang kita meminta-minta, berhutang, melarang membalas kejahatan dengan kejahatan. Tuhan tidak perlu dibela, kita tidak perlu bela agama. Perjanjian baru melarang manusia membunuh manusia atas dasar perbedaan keyakinan.”

“Sejak kecil, Abi sudah memiliki Kitab Perjanjian Baru, tetapi nenekmu merampasnya dari abi. Semangat abi terus membara untuk mencari sekolah yang mengajarkan Alkitab. Puji Tuhan, abi dapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta, fakultas Ushuluddin.”

Saddam masih gelisah, sebentar memegang kitabnya, sebentar memegang Alkitab. Sebentar duduk di kursi, balik lagi di kasur.

“Sekolah apa itu, bi?”
“Abi kuliah di Fakultas Ushuluddin, jurusan perbandingan agama.”, jawabku.

Saddam merenung, lalu berkata, “Kalau begitu, beri Saddam kesempatan untuk belajar perbandingan agama, bi. Saddam tidak mau mengikuti agama abi dengan terpaksa.”
“Yah, silahkan nak. Kesempatanmu luas dan doakan abi banyak rejeki untuk meraih cita-citamu. Tapi saran abi, ikuti abimu masuk Kristen. Karena abi sudah lama melakukan studi perbandingan agama dan menurut abi pilihan tepat adalah Kristen.”

Saddam tetap menolak.

“Jadi selama ini, orang beragama karena ikut agama orang tua ya, bi?”
“Ya nak, 90% manusia beragama karena ikut orang tua. Bukan karena kesadaran atau belajar kebenaran.”, Jawabku.

“Bagaimana kami dan umi? Apakah abi akan menceraikan umi?”, Saddam bertanya dengan mata berkaca2.

“Kalian bebas memilih. Abi orang demokratis tapi jangan ganggu keimanan abi. Mengenai umi, abi hanya kenal satu suami untuk satu istri. Abi bertanggung jawab bagi kebahagiaan umi sekalian.”

Saddam tidak jadi menangis.

“Kalau sudah sampai di rumah, Saddam akan diskusi dengan bang Fikri dan dik Kadafi.”
“Boleh saja diskusi, tetapi jangan kasih tahu dulu, kalau abi sudah masuk Kristen.”
“Kapan dikasih tahu?”
“Kalau kita sudah pindah dari Heurgeulis, dan abi punya cukup uang untuk mengontrak atau beli rumah.”, jawabku memberi pengertian.

Jam dinding tepat pukul 23.00.

“Hati saya sudah lega bi, Saddam mau tidur dulu.” Katanya, sesaat kemudian Saddam sudah tertidur pulas. Kucium pipinya. Sampai dirumah Haurgeulis, istri saya membujuk saya untuk mengajar di pesantren. Tapi mana mungkin saya kembali. Pantang surut ke belakang. Berbagai cara istriku mengajak untuk merenungkan kembali keputusan saya. dengan jabatan dan kehormatan yang saya terima, tetapi saya tetap bersikeras.

“Pindah Jakarta”

Menjadi Kristen itu sangatlah menakutkan, bahkan mengerikan! Terlintas dalam benak saya, keluarga dari istri pasti akan mengucilkan. Dulu adik saya perempuan kawin dengan orang Batak dan tidak pulang kampung sampai sekarang. Kenapa? Dia masuk Kristen ikut suaminya kemudian dikucilkan oleh keluarga besar kami. Tetapi saya yakin, kalau hal-hal seperti itu terjadi, Tuhan pasti akan cukupkan segala kebutuhan saya.

Minggu pertama pertobatan, saya dan Saddam pulang ke Bima untuk pembagian warisan. Saya hanya mengambil sebidang tanah wasiat dari ayah. Firman Tuhan terus menguatkan saya, Matius 10: 34-36 : “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.” Pertobatan dapat memisahkan satu keluarga dengan saudara sendiri. Keluarga bukanlah alasan menolak menjadi murid Tuhan. Jika keluargaku membaca kesaksian ini, mereka pasti akan memaki-maki, mencibir, mencemooh bahkan mereka telah mengucapkan segala nama binatang kepada saya. Tetapi saya berdoa dan tetap ramah pada mereka. Saya balas sms mereka dengan tekun dan saya berharap mereka dijamah Tuhan.

Akhirnya kami mendapat kontrakan di Jakarta selama 2 tahun. Kami pindah ke situ. Setelah 1 minggu, rumah pun rapih. Saya memberanikan diri memberitahu istri saya bahwa saya sudah masuk Kristen. Reaksinya sungguh tak terduga.

Berhari-hari istri saya menangis, dia tidak percaya, “Kamu pikir kamu itu siapa? Kowe iku Kyai! Kok iso-isone dhadi wong Kresten?” Dia terus menangis. Aku juga ikut menangis bersama dia.

“Kamu telah menghancurkan masa depan saya dan anak-anak saya. Kalau sudah begini kamu mau makan apa? Gaji dari mana? Kamu tinggalkan karir yang telah dibangun bertahun-tahun. Kendaraan kamu tinggal, tanah yang kamu beli dibiarkan. Kamu gila!”

Saya tidak menjawab semua omongan istriku. Saya diam saja.

BAB V
ISTRIKU MENINGGALKAN RUMAH

Saya bersaksi kemana-mana, banyak orang terima Yesus. Saya juga mengajak istri saya, tetapi dia menolak mentah-mentah. Dia menentang saya. Orang lain banyak yang terima Yesus, istri sendiri menolak. Saya seperti laki-laki impoten.

Hanya 7 bulan tinggal bersama, dia kabur membawa 3 anak ke Jepara. Diantar oleh Manan adik saya. Mereka tinggal di rumah kakak ipar. Hari-hariku penuh air mata. Saya kacau balau. Saya telepon istri dan anak-anak saya. Kami menangis bersama. Istri mengajak saya kembali ke Islam. Saya menolak. Saya mengajak dia memilih Kristen. Dan dia juga menolak. Saya mendengar anak-anak menangis. Telepon putus, padahal saya masih mau berbicara. Saya tidak menyerah. Saya telepon istri agar bertemu, tapi dia bilang tidak mau ketemu. Saya tanya kenapa, jawabnya karena saya najis. Karena saya sekarang makan babi. Saya tetap berjuang, saya ingin anak-anak saya mengikuti ajaran injil yang penuh toleransi dan damai.

Akhirnya perjuanganku tidak sia-sia, istriku mau ketemu dengan asal tidak bersentuhan. Saya setuju, yang penting bisa ketemu anak-anak. Malam itu aku langsung ke terminal Pulo Gadung naik bus malam dari Jakarta ke Jepara. Jam 5 aku tiba. Anak-anakku berdiri menanti di halaman rumah. Aku cium mereka satu per satu. Todal tajam, air mata rindu menetes. Aku masuk rumah, istriku duduk menjauh. Tidak mau menyentuh tanganku yang terulur.

“Istriku, anak kita akan menderita kalau kita cerai.”
“Oke, aku mau hidup suami istri lagi, tapi dengan syarat kmu masuk Islam lagi.”
“Istriku, aku tidak mungkin masuk Islam lagi. Aku hanya bisa hidup dalam Kristus dan Kristus hidup di dalam kamu. Aku hanya mencintai kamu, aku tidak bisa kawin dengan empat istri.”
“Kalau kamu mau kawin lagi silahkan, asal kembali ke Islam.”, kata isteriku lagi.
Tidak akan aku mengkhianati cintaku padamu dan aku tidak akan pindah ke lain hati, tetapi aku mencintai Yesus lebih dari segalanya.

Istriku putus asa, marah karena gagal mengajak saya menjadi muslim. Dia mengambil gunting. Aku segera berkemas memasukan laptop dan LCD dalam tas. Istriku mengejar dengan gunting di tangan. Aku segera berlari menuju pintu untuk mengambil sepatu. Istri saya mengejar bahkan gunting hampir menancap di punggung saya. Saya tidak sempat meraih sepatu, saya dobrak pintu. Istri saya menggunting sepatu sampai terburai dan melemparkan ke saya. Saya meloloskan diri menggunakan sandal jepit. Kabur naik bus ke Surabaya. Dalam bis saya menangis, Oh Tuhan apa salah hambaMu ini? Kok jadi orang Kristen malah tambah susah? Dalam bis saya terus menangis karena tak kuasa menahan haru, meskipun saya agak malu dengan penumpang lain. Saya duduk melihat keluar sepanjang jalan. Saya melihat hutan dan pohon jati yang tegak teguh ke langit. “Itulah jati diriku”, pikirku. Aku tak akan goyah.

Sampai di Surabaya saya siap pelayanan, saya jalan di mall Pakuwon. Ada yang menegur kenapa saya karena memakai sandal jepit. Setelah saya jelaskan dia terharu. Dia ajak saya ke toko sepatu. Setelah mencoba sepatu yang cocok, tak terasa air mata membasahi pipi. Sambil berjalan dengan sepatu baru, saya memuji Tuhan dalam hati. Perempuan penjaga toko memanggil-manggil, “Pak, sandalnya ketinggalan!” Aku pura-pura tuli. Air mata di pipi kubiarkan saja. Tuhan tahu tadi pagi sepatuku robek dan Dia ternyata tidak mempermalukan hambaNya. Dia hidup.

BAB VI
YESUS WAKTU AKU KECIL

Menjelang ujian SD saya bermimpi duduk bersama nabi-nabi besar. Sebelah kanan Yesus, Musa, Ibrahim, Nuh dan sebelah kiri nabi Muhammad SAW. Mereka berpakaian putih dengan wajah ramah dan berseri-seri. Pagi-pagi saya menyatakannya kepada kakak saya Aisyah, “Tadi malam saya bermimpi duduk bersama para nabi besar di langgar (mushola) kita”. Jawab kakak saya, “Oh, kau telah melihat mimpi yang benar. Karena setan tidak dapat menyerupai wajah nabi”.

Kini saya paham makna mimpi tersebut, bahwa hidup saya seperti mengikuti arah jarum jam yang berputar dari kiri kekanan. Dari mengikuti ajaran nabi Muhammad, nabi Nuh, nabi Ibrahim, Nabi Musa dan terakhir ajaran Tuhan Yesus. Sewaktu SD saya memiliki kitab Perjanjian Baru, Mazmur, dan Amsal berwarna putih. Kitab itu diberikan oleh sepupu Fatimah anak guru Said dan selalu saya baca setiap ada kesempatan bahkan sering saya baca dengan keras. Suatu hari ibu saya mendengar, lalu mengambil kitab itu dan menyembunyikannya. “Nanti kamu akan masuk Kristen”, kata Ibu saya.

“Tidak mungkin mama, saya anak guru agama dan saya akan jadi pembela agama yang tangguh. Janji mama, tidak akan terjadi.”, kataku kepada mama yang sudah mulai kuatir.
“Baiklah, tapi mama tetap menyimpan kitab ini sampai kamu besar nanti.”, katanya lagi. Hingga beliau meninggal, kitab warna putih itu tidak diketahui lagi dimana rimbanya.
Sejak mama mengambil kitab tersebut, saya mulai cari info pada saudara-saudara tentang sekolah yang mengajarkan Alkitab. Mereka menyarankan masuk fakultas Ushuludin jurusan perbandingan agama. Ternyata bukan kebetulan kalau setelah lulus SMA saya dapat beasiswa dari pimpinan pusat Muhammadiyah untuk kuliah di Univrsitas Muhammadiyah Surakarta sekaligus mondok di pesantren Hajjah Nuriyah Shobron, Makamhaji.

Saya dan Ikhwan tanpa pikir panjang mengambil fakultas Ushuludin jurusan perbandingan agama. Selama kuliah pengalaman keagamaan saya tumbuh bagus. Saya selalu mendapat tugas mubaligh hjrah di Klaten dan Wonogiri. Saya juga asisten dosen mata kuliah Al-Islam dan Kemuhamadiyah di FKIP dan fakultas psikologi.

Ada satu kejadian lagi yang sangat berkesan dalam hidup saya tentang orang Kristen
Sebelum masuk kuliah, saya berkunjung ke rumah bibi saya di Pancoran Jaksel. Turun di Terminal Pulo Gadung lalu naik bus ke arah Blok M. Duduk di sebelah kanan saya ternyata pemuda Kristen. Dia menanyakan tujuan saya dan saya jawab mau ke rumah bibi saya (sambil merogoh kantong mengambil secarik kertas).

“Sudah pernah kesana?”
“Belum!”
“Boleh saya antar?”
“Terima kasih sekali!”, jawabku gembira.

Pemuda ini sekitar 3 tahun lebih tua dariku. Dia yang bayar ogkos bis, becak, menanyakan alamat dan mengantar sampai ke rumah bibi. Seusai minum, dia pamit pulang dan saya kasih uang karena telah membantu saya. Tetapi dia menolak dengan halus, “Saya masih punya, terima kasih”, katanya. “Bah!”, kataku dalam hati, “Dia pula yang berterimakasih padahal dia yang lelah.” Pemuda itu keluar pintu rumah dengan tersenyum, saya tertegun, terkesima hingga pemuda itu hilang dari pandangan mata.

Saya bahkan lupa menanyakan siapa namanya. Wahai saudaraku, kalau saudara membaca tulisan ini saya berterima kasih dan ingin berkenalan dengan Anda.

BAB VII
TETAP TEGUH

Saya merasa bersalah kepada istri saya, tapi saya tidak mungkin mundur. Ternyata jadi Kristen itu ada harga yang harus dibayar. Tapi apakah ditinggal anak istri adalah harga yang dimaksud? Tuhan menginginkan setiap pernikahan kita menjadi sarana untuk mengalami kehidupan yang utuh. Suatu hari, pernah saya ke Jepara bersama pak Bagio dan pak Imam. Jam empat pagi saya tiba di Jepara. Tidak ada yang berani buka pintu. Saya paksa buka pintu dan bertemu istri saya. Saya hendak memeluknya tetapi dia teriak memanggil kakaknya.

“Kamu mau apa?”, tanya iparku.
“Kakak mau apa?”, gertakku sengit.
“Saya usir kamu”.
“Enak aja mengusir saya, anak-istri saya di sini.”, jawabku.

Kakak ipar saya memanggil polisi. Empat orang polisi datang, tetangga juga berdatangan.

“Jangan coba-coba sentuh saya, polisi, kamu belum tau siapa saya?”, saya gertak mereka (maksudnya kalau belum tau, tanya!).

Polisi bilang kalau kedatangan mereka hanya untuk berjaga-jaga, “Jaga di luar! Jangan ikut campur urusan rumah tangga!”, jawab saya lagi. Mereka keluar ke halaman. Semua keluarga jadi takut karena saya bisa mengusir polisi. Pak Bagio dan pak Imam yang mengantar saya kabur, karena mobil mau dibakar. Pagi itu, tersiar berita bahwa menantu pak Marhadi sudah jadi pendeta.

Sorenya saya berhasil merayu anak sulung saya Fikri makan di luar. Dia mau dan akhirnya saya “culik” ke Surabaya. Bertemu dengan pak Dharmanto, beliau malah menyarankan saya mengembalikan Fikri. “Wah ini dapet orangnya ga dapet hatinya.”, kata beliau. “Maksudnya pak?”, tanyaku. “Pak Abraham harus mengembalikan anak tersebut”, jawabnya.

Gagal rencana saya, padahal Fikri mau saya bawa ke Bima, tinggal dengan kakakku biar istri saya tahu rasa. Dua hari kemudian saya dan Fikri kembali ke Jepara. Dan istri saya ternyata sangat bahagia. Dia mendekati dan mencium saya. saya juga bahagia, kusentuh tangannya dan menciumnya sambil meminta maaf. Saya semakin rajin mendoakan istri dan anak-anak. Tak ada sedikit pun niat untuk berpisah dengan mereka, walaupun istri saya tidak mau tidur dengan saya.

“Tiap makan saya selalu mendoakan kamu, istriku, agar kamu diberkati Tuhan.”, kataku suatu kali dalam telepon. “Saya juga selalu mendoakanmu suamiku”, jawab istriku. “Apa doa kamu buat saya?”, tanyaku. “Saya berdoa kepada Allah setiap usai sholat agar kamu kembali menjadi muslim”, jawab istriku. “Wah kamu salah berdoa, karena tidak mungkin Tuhan mengabulkan doa seprti itu”, kataku. Suaranya tambah lama tambah pelan lalu menangis. Kucoba menenangkannya.

Kami memang saling mencintai, kalau ketemu kami saling melepas kangen. Aku cukup mencium tangannya dengan mata berkaca-kaca. Dia menatapku penuh makna. “I Love you”, bisikku.

Lama kami berpisah, istriku minta cerai tapi kutolak. Istriku memintaku kembali ke Islam, tapi aku tetap menolaknya. Saya tetap teguh dengan pendirian saya. Bila bertemu dengan istriku, saya habis-habisan memberi pengertian tentang kekristenan. Suatu hari saya bilang pada istriku bahwa muslim harusnya merayakan natal juga, bahkan dengan meriah. Istri saya heran. Saya jelaskan padanya bahwa dalam Alqur’an hanya Yesus (Isa) yang kelahirannya diceritakan dengan penuh sejahtera. Istri saya kaget, lalu saya perlihatkan ayatnya. Kami terus terlibat dalam diskusi ayat-ayat Alquran dan Alkitab.

Akhirnya Desember 2008, istriku dibaptis. Sempurna sudah kebahagiaan saya. Dua tahun saya bergumul dan berdoa kepada TUHAN. Dan Dia menjawabnya dengan indah.

BAB VIII
BEBERAPA ALASAN

1. Murid-muridku

Saya sangat dekat dengan mereka dan mereka tahu bagaimana saya membela agama. “Abi sudah tidak waras lagi”, kata muridku di Yogya. Lain lagi dengan kata anakku, “Saya bangga dengan abi, karena pembela agama yang berkobar, tapi kenapa abi masuk Kristen?”, kata Fikri pada uminya. Saya juga sering bertemu santri di berbagai tempat. Di Balikpapan saya bertemu dengan wali santri, mereka berterimakasih atas bantuan saya dalam mendidik anak mereka. Saya jawab bahwa hal itu sudah menjadi kewajiban seorang guru. Saya kuatir dalam hati dia belum tahu kalau saya sudah jadi orang Kristen.

Selama kesaksian ini belum terbit, saya masih tiarap. Saya tinggalkan pesantren. Teman-teman di dewan guru berusaha menahan saya, tetapi saya tetap teguh dengan keinginan hati saya. Kesaksian ini adalah sebuah bentuk jawaban terhadap semua pihak yang menanyakan mengapa saya masuk Kristen. Termasuk buat keluarga besar saya. Semoga setelah membaca ini mereka akan mengajak saya berdialog tentang Islam dan Kristen. Dengan dialog, kita bisa memperluas wawasan tentang pentingnya hubungan yang harmonis antar umat beragama karena agama tidak boleh dipaksakan (QS 2:256).

2. Ekonomi

Menjadi Kristen tidak perlu ragu, apalagi tentang masalah ekonomi. Contoh, takut lapar? Tuhan telah menyiapkan makanan yang cukup. Ingat mukjizat 5 roti 2 ikan. Ingat kata Yesus (Matius 6:25).

3. Perilaku

Ini yang saya risaukan, dunia tidak menyaksikan apa yang diramalkan Samuel Huntington. Dia meramalkan bahwa akan terjadi bentrokan budaya yang hebat. Tapi yang terjadi bukanlah bentrokan budaya ataupun agama. Tapi bentrokan antra modernitas dan ketidakpahaman. Bentrokan antara dua kubu yang hidup saling bertentangan secara diametral. Antara manusia yang hidup abad 21 dan abad pertengahan. Pertarungan manusia yang belum beradab dengan manusia beradab.
Konsep bentrokan peradaban ini diungkapkan oleh Samuel Huntington, dan “eksekutornya” adalah golongan yang meradikalkan diri atas dasar golongan dan keyakinan tertentu. Ketika ada yang membagi dunia menjadi merah dan putih, atau membagi dunia dengan Kristen dan non Kristen dan menyatakan perang abadi terhadap yang non atau sebaliknya, mereka tunduk kepada kehendak yang kuat maka inilah akar masalah dan sumber konflik.

Saya bingung dengan orang yang suka mempermasalahkan kepercayaan orang lain, bagi saya apa yang saya percayai adalah urusan saya, bukan urusan mereka. Saudara silahkan menuhankan batu, selama anda tidak melemparkan batu itu kepada saya. Anda bebas menyembah apa saja, namun kepercayaan orang lain bukanlah urusan Anda. Apa urusan Anda kalau ada orang yang percaya bahwa Kristus adalah Tuhan? Putra Maryam. Atau bahwa setan adalah Tuhan? Biarlah orang percaya apa yang mereka mau yakini. Kita disuguhkan berita sekelompok orang mendatangi tempat yg dianggap sesat, lalu usahanya dibakar, rumah dirusak, bahkan ada yang dibunuh. Kejadian seperti ini sering kita lihat. Mereka mencoba memberlakukan hukum islam. Hukum Islam tidak bisa diberlakukan di sini. Perusakan cafe, lokalisasi, dan lain-lain seharusnya boleh dilakukan jika hukum Islam sudah berlaku di negara ini. Jangan setengah-setengah. Sebagai contoh hukum Islam: yang berzinah dirajam, pencuri dipotong tangannya, tiap jum’at muslim dipaksa ke masjid, dan lain-lain. Kalau hal-hal seperti itu belum berlaku, siapa yang bisa menjamin bahwa yang merusak cafe itu sholatnya tekun (pelaksana hukum islam)?

Banyak orang Kristen pindah agama, apa harus dihukum murtad oleh orang Kristen? Atau dicari-cari untuk dibunuh? Malah dibiarkan saja. Bagi orang Kristen itu urusan dia dengan Tuhan. Beragama adalah hak asasi manusia. Biarkan saja! Terorisme telah melumpuhkan saya pada kepercayaan lama.

Dunia patut berterima kasih pada bangsa Yahudi atas penemuan dan kemajuan sains pada abad 19 dan 20. Ada 15 juta orang Yahudi diseluruh duniaa, mereka bersatu dan memenangkan hak mereka lewat banting tulang dan peras otak. Saya belum pernah melihat orang Yahudi meledakan diri mereka di hotel Jerman (ingat Holocaust). Atau orang Yahudi yang membakar gereja. Belum ada satu Yahudi pun yang memprotes sesuatu dengan membunuh orang lain.

Walau Taliban telah menghancurkan 3 patung suci Budha, belum pernah kita melihat satu orang budha membalas menghancurkan masjid, membunuhi muslim atau membakar kedutaanya.

Saya sadar bahwa di jaman sekarang, hanya agama yang penuh toleransi dan kasih saja yang akan dipilih oleh orang-orang intelek. Cara-cara kekerasan tidak akan menghasilkan apa-apa. Ajaran yang kumuh, akan segera lisut seperti rumput kering. Dalam banyak negara, ajaran agama adalah sumber pendidikan dan menjadi pusat pembentukan ideologi seseorang. Saya telah mencapai titik di mana saya akan terus mempelajari ajaran dari kitab-kitab suci agama-agama besar. Karena Firman Tuhan adalah Ya dan Amin. Dan ketika saya baca ayat dalam Qur’an, memang banyak ayat perang terhadap kafir, dan sebagainya. Tapi dalam pemahaman ayat-ayat Qur’an, sangat diperlukan perhatian ulama dan pendeta untuk bisa menjaga toleransi dan perdamaian. Karena banyak ayat-ayat Qur’an yang akhirnya digunakan oleh sebagian kelompok kecil untuk membenarkan semua tindakan melawan hukum Negara yang sah. Manusia tidak berhak mencabut nyawa orang lain atas nama agama.

4. Kasih sayang

Kasih sayang artinya saling bekerja sama tanpa memandang iman, warna, bahasa dan asal usul. Mencoba membangun metode pemahaman baru dan menghormati satu sama lain. Bayangkan kalau kita terus bertikai karena agama, bagaimana anak cucu kita menulis sejarah nenek moyangnya?

5. Teman baru

Buku ini pasti akan dibaca banyak orang, termasuk teman-teman saya. Jangan menghujat teman, mari kita berdialog untuk hidup yang lebih baik. Mari kita bangun persaudaraaan yang lebih baik antar umat beragama. Telah banyak darah yang mengalir hanya karena membela agama. Saya siap berdialog dengan Anda kapan saja, Ok?

BAB IX
PENUTUP

Sampailah kesaksian ini pada bab terakhir, penulis merasa bahwa ini semua karena kasih karuniaNya. Dialah rahman dan rahim. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu banyak dalam penulisan kesaksian ini. Kesaksian ini bukan untuk mencari popularitas atau menyinggung siapapun. Semua hanya Untuk kemuliaan Tuhan saja. Trimakasih kepada istriku Natalia N*******I, I Love You. Dan ketiga anak kami, Fikri K******I, Saddam H****n, Muammar K****I, Tuhan memberkati kalian semua. Biarlah kehendakNya yang jadi.

Jerusalem baru, akhir 2009.

Saifuddin Ibrahim

 
4 Komentar

Ditulis oleh pada September 1, 2012 inci Kesaksian

 

Tag: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,